eramediapos.com,- Kasus dugaan ijazah palsu yang terus membayangi sosok mantan presiden Indonesia menjadi panggung panjang yang tak kunjung reda. Media dan masyarakat menyorotnya dengan intensitas tinggi, seolah-olah seluruh martabat hukum bangsa bertumpu pada satu figur. Namun yang luput dari perhatian adalah kenyataan pahit di akar rumput: pemalsuan ijazah juga merajalela di tingkat kepala daerah, bahkan kepala desa dan lebih parah lagi, banyak yang berhenti tanpa ujung penyelesaian.
Pertanyaannya sederhana namun menusuk: jika hukum mampu dan berani menyorot kasus di pusat kekuasaan, mengapa ia tampak gagap atau bahkan diam ketika berhadapan dengan kasus serupa di level bawah?
Ijazah bukan sekadar kertas formalitas. Ia adalah simbol kepercayaan, bukti proses pendidikan, dan cerminan etika. Ketika seorang kepala daerah atau kepala desa bisa melenggang dengan ijazah palsu, maka kita sedang menyaksikan runtuhnya fondasi moral birokrasi dari dalam. Bayangkan, kebijakan publik dan pengelolaan anggaran dijalankan oleh orang-orang yang memulai langkah kepemimpinannya dengan kebohongan.
Lebih menyakitkan lagi, banyak kasus pemalsuan ijazah di daerah yang dilaporkan oleh warga, aktivis, atau media lokal justru tenggelam. Tak jarang para pelapor mengalami tekanan balik dari penguasa lokal yang memiliki jejaring kuasa hingga aparat yang enggan menyentuhnya. Sebuah ironi dalam demokrasi yang seharusnya menjunjung kejujuran.
Opini publik seolah tak cukup kuat menggugat ketimpangan ini. Di sisi lain, aparat penegak hukum terkesan hanya bekerja dalam hiruk-pikuk nasionalisme media. Seolah hukum menunggu sorotan kamera sebelum berani bertindak. Kita jadi bertanya-tanya, apakah hukum di negeri ini hanya berlaku bagi yang viral?
Sudah saatnya kita menyamakan ukuran moral dan hukum di semua level kepemimpinan. Pemimpin desa yang curang dengan ijazah palsu sama merusaknya dengan pemimpin pusat yang menyembunyikan riwayat akademiknya. Keduanya mengikis kepercayaan publik dan merusak etika berdemokrasi.
Masyarakat tidak butuh pemimpin yang sempurna, tapi jujur. Kita bisa menerima keterbatasan pendidikan jika itu disertai dengan kejujuran dan kerja keras. Tapi kita tidak bisa menoleransi kebohongan yang dibungkus dalam baju kekuasaan.
Jika kita ingin membangun bangsa yang bermartabat, maka langkah pertamanya adalah menegakkan integritas di semua lini bukan hanya di sorotan kamera, tetapi juga dalam senyap-senyap ruang desa dan kantor kecamatan.
Penulis : Tukang Stempel
Tags
Kabupaten Purwakarta