Retreat kepala desa Purwakarta pada 2–4 Desember 2025 mungkin menjadi kegiatan paling aneh tahun ini: mahal, tidak jelas, dan dilakukan dengan wajah penuh senyum seolah sedang memperbaiki negara.
Bagaimana tidak?
Para kepala desa dan perangkatnya berkumpul di Kiarapedes—tempat sejuk yang biasanya dipakai untuk healing—sementara rakyat yang mereka wakili sedang sibuk memikirkan pupuk mahal, jalan berlubang, dan pelayanan desa yang kadang masih seperti zaman pager jaga.
Lalu tiba-tiba muncul angka itu:
Rp8 juta per desa. Total estimasi: Rp1,46 miliar.
Untuk apa?
Untuk tiga hari acara yang bahkan penyelenggaranya bingung mau menjelaskan apa.
Lebih pedasnya lagi:
Tidak ada klarifikasi dari Apdesi.
DPMD tidak terlibat, tapi desa tetap ditarik iuran.
Tidak jelas sumber dana—DD, ADD, iuran, atau kita harus pura-pura percaya itu “uang pribadi”?
Ini bukan lagi soal transparansi, ini soal akal sehat.
Sebab satu hal yang terasa jelas: acara ini lebih mirip “piknik beranggaran desa” ketimbang kegiatan peningkatan kapasitas.
Dan publik tidak bodoh.
Ketika foto-foto santai, makan-makan, dan suasana adem itu berseliweran di status WA, masyarakat hanya bisa berkata:
> “Oh, jadi ini ya manfaat Dana Desa selama ini…”
Apakah itu tuduhan?
Tidak.
Itu reaksi jujur dari rakyat yang sudah terlalu sering melihat anggaran dipakai untuk kegiatan yang manfaatnya hanya terasa oleh mereka yang datang, bukan oleh mereka yang membayar.
Pertanyaan pedasnya sederhana:
Jika manfaatnya tidak untuk rakyat, kenapa uangnya dari desa?
Jika ini urusan organisasi, kenapa skalanya seperti proyek APBD?
Jika ini program penting, kenapa penyelenggaranya diam seribu bahasa?
Retreat boleh, piknik silakan, refreshing manusiawi.
Tapi ketika sudah bicara uang desa—uang rakyat—setiap rupiah harus bisa dipertanggungjawabkan.
Dan saat ini, tidak ada satu pun penjelasan yang muncul.
Yang ada hanya diam, seolah publik tidak berhak tahu.
Sementara itu, rakyat melihat para pemimpinnya berkumpul di tempat indah, dengan biaya besar, tanpa laporan yang bisa dipahami.
Dan diam-diam, kepercayaan publik mulai terkikis.
Lebih menyakitkan lagi, retreat ini menunjukkan betapa jauhnya sebagian pemimpin desa dari realitas masyarakatnya.
Yang seharusnya membangun, malah sibuk berkegiatan tanpa urgensi.
Yang seharusnya menyusun strategi kesejahteraan warga, malah fokus pada perjalanan ke luar desa.
Ini bukan soal uang, ini soal rasa.
Dan rasa publik saat ini jelas: muak.
Jika para kepala desa tidak segera memberikan klarifikasi terbuka, maka retreat ini akan dikenang bukan sebagai kegiatan pembinaan, tetapi sebagai simbol betapa mudahnya uang desa menguap tanpa arah.
Penulis : Tiara
Tags
Kabupaten Purwakarta

