Magspot Blogger Template

Jeruk Makan Jeruk: Gejala Busuk Penegakan Hukum, Akan Jadi Tren 2026?

PURWAKARTA, eramediapos.com,- Penangkapan aparat penegak hukum oleh sesama aparat kini bukan lagi peristiwa luar biasa. Hakim, jaksa, polisi, hingga pejabat lembaga hukum silih berganti terseret kasus. Publik menyebutnya dengan istilah sinis, jeruk makan jeruk. Pertanyaannya, ini pertanda keberanian membersihkan diri, atau justru bukti pembusukan sistemik yang makin parah?

Fenomena ini mengungkap satu fakta telanjang: masalah hukum di negeri ini bukan semata pada pelanggar hukum, tetapi pada penjaga hukumnya sendiri. Ketika mereka yang diberi mandat menegakkan keadilan justru memperjualbelikan kewenangan, hukum berubah menjadi komoditas, bukan nilai.

Narasi resmi sering mengatakan “hukum tidak pandang bulu”. Namun realitas menunjukkan, yang tertangkap kerap hanyalah mereka yang kalah cepat, kalah kuat, atau kalah jaringan. Sementara praktik serupa di level lain tetap aman, tersembunyi di balik seragam, jabatan, dan solidaritas institusional.

Jika penangkapan aparat terus berulang, jangan buru-buru disebut prestasi. Banyaknya OTT bukan indikator sehatnya sistem, melainkan alarm keras bahwa kebusukan telah mengakar lama. Penindakan yang marak bisa jadi hanya puncak gunung es dari praktik yang selama ini dibiarkan, ditoleransi, bahkan diwariskan.

Lebih berbahaya lagi, fenomena ini terjadi di tengah situasi politik yang memanas. Tahun-tahun menjelang dan pasca kontestasi kekuasaan selalu rawan penyalahgunaan hukum sebagai alat tawar, senjata tekanan, atau sarana balas dendam. Dalam kondisi seperti ini, publik wajar curiga: penegakan hukum berjalan lurus, atau sedang diperalat?

Jika tak ada reformasi mendasar, 2026 berpotensi menjadi tahun di mana jeruk makan jeruk berubah dari anomali menjadi rutinitas. Penangkapan aparat akan terus menjadi konsumsi media, sementara akar masalah—rekrutmen bermasalah, promosi transaksional, gaya hidup tak wajar, dan budaya impunitas—tetap utuh.

Yang paling dirugikan bukan hanya institusi hukum, tetapi masyarakat. Kepercayaan publik runtuh, rasa keadilan menipis, dan sinisme tumbuh. Ketika hukum tak lagi dipercaya, masyarakat mulai mencari “keadilan” dengan caranya sendiri—sebuah jalan berbahaya bagi negara hukum.

Penegakan hukum sejati tidak diukur dari berapa banyak aparat yang ditangkap, melainkan seberapa sedikit aparat yang berani menyimpang karena sistem tak lagi memberi ruang untuk itu.

Jika negara serius, reformasi harus menyentuh jantung persoalan: integritas sebagai syarat utama karier, transparansi harta, hukuman berat tanpa negosiasi, dan kepemimpinan yang memberi teladan, bukan perlindungan.

Jika tidak, publik boleh bersiap: jeruk akan terus memakan jeruk—dan hukum hanya tinggal nama.

Opini


Lebih baru Lebih lama

ads

Magspot Blogger Template

ads

Magspot Blogger Template
Magspot Blogger Template

نموذج الاتصال