Magspot Blogger Template

Lapang Asem di Ambang Penghapusan: Janji Kepala Desa Patah, Sejarah Warga Terancam Hilang

PURWAKARTA, eramediapos.com,-  Lapang Asem tengah berada di ujung napasnya. Bukan karena bencana alam, melainkan akibat keputusan manusia yang memegang kuasa. Ruang terbuka yang selama puluhan tahun menjadi denyut nadi kehidupan warga Kecamatan Plered kini terancam lenyap, dikorbankan atas nama pembangunan yang justru menyisakan luka dan rasa dikhianati.

Rencana pendirian Koperasi Merah Putih di atas Lapang Asem bukan sekadar proyek fisik. Ia menjelma simbol penghapusan ruang publik, pengabaian suara warga, sekaligus pembatalan janji politik yang dulu diucapkan terbuka oleh Kepala Desa, janji yang kini runtuh tanpa penjelasan dan tanpa rasa tanggung jawab.

Hingga hari ini, status hukum tanah Lapang Asem masih gelap. 
Tidak pernah ada penjelasan resmi kepada masyarakat. 

Dokumen Letter C tak pernah ditunjukkan. Bukti pembayaran pajak tahunan yang seharusnya menjadi dasar legal penguasaan tanah pun tak pernah dibuka ke publik. Yang tersisa hanya klaim sepihak dan sikap tertutup.

Pertanyaan warga sebenarnya sederhana, namun terus mengambang tanpa jawaban: atas dasar hukum apa Lapang Asem dialihfungsikan dari ruang publik?

Yang lebih menyakitkan, keputusan ini berjalan tanpa musyawarah. Tokoh masyarakat, sesepuh desa, dan para penjaga ingatan kolektif Plered tidak pernah dilibatkan. Lapang Asem diperlakukan seolah tanah kosong tak bernilai, padahal ia dirawat melalui gotong royong lintas generasi. 

Di tempat itu anak-anak tumbuh, pemuda ditempa, dan identitas sosial warga dirajut dari waktu ke waktu. Mengalihfungsikannya tanpa persetujuan masyarakat sama artinya dengan mengubur sejarah hidup-hidup.

Bagi warga, Lapang Asem bukan sekadar sebidang tanah. Ia adalah amanah leluhur, bukan komoditas yang bisa dipindahtangankan sesuka hati. Mengubah fungsinya tanpa restu masyarakat bukan hanya pelanggaran etika pemerintahan desa, tetapi juga penghinaan terhadap pengorbanan generasi sebelumnya.

Amarah publik kian memuncak ketika ingatan kembali pada masa kampanye. Di hadapan warga, Kepala Desa pernah berjanji tegas, Lapang Asem akan dijaga, dilindungi, dan tidak akan dialihfungsikan. Janji itu menjadi mata uang kepercayaan, pondasi mandat kepemimpinan yang ia terima. 

Hari ini, janji itu gugur. Dikhianati oleh tangan yang sama yang dulu mengucapkannya. Tanah yang dijanjikan untuk dijaga justru diserahkan pada kepentingan sepihak, tanpa dialog, tanpa transparansi, dan tanpa penghormatan terhadap warga yang memilihnya.

Bagi masyarakat Plered, ini bukan semata soal pembangunan. Ini tentang runtuhnya kepercayaan. Bukti bahwa kekuasaan, ketika kehilangan kompas moral, mampu menghapus sejarah hanya dengan satu keputusan administratif.

Warga menegaskan sikap mereka dengan jelas: mereka bukan anti pembangunan, dan tidak menolak Koperasi Merah Putih. Yang mereka tuntut adalah keadilan, keterbukaan, dan penghormatan terhadap amanah leluhur. Mereka meminta seluruh dokumen kepemilikan tanah dibuka secara jujur kepada publik dan keputusan dikembalikan ke musyawarah desa, bukan ditentukan di balik pintu tertutup.

“Pemimpin boleh lahir dari suara rakyat,” ujar seorang tokoh masyarakat dengan nada getir, “tetapi kehormatannya mati saat ia mengkhianati janjinya sendiri.”

Lapang Asem masih berdiri hari ini. Namun jika pengingkaran terus dibiarkan, yang akan hilang bukan hanya sebidang tanah, melainkan sejarah, kepercayaan, dan harga diri sebuah desa.

Reporter : Red
Lebih baru Lebih lama

ads

Magspot Blogger Template

ads

Magspot Blogger Template
Magspot Blogger Template

نموذج الاتصال