PURWAKARTA, eramediapos.com,-Menjelang akhir tahun anggaran 2025, realisasi belanja APBD Kabupaten Purwakarta yang baru mencapai 78,44 persen patut menjadi bahan refleksi serius. Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi cerminan dari lambannya roda pembangunan dan tersendatnya pelayanan publik yang seharusnya dinikmati masyarakat.
Persoalan rendahnya serapan anggaran ini tidak bisa dilihat secara hitam-putih. Di satu sisi, kehati-hatian aparatur pemerintah daerah dalam mencairkan anggaran patut diapresiasi, terutama di tengah iklim birokrasi yang kerap dihantui ketakutan akan jerat hukum dan tuduhan korupsi. Namun di sisi lain, kehati-hatian yang berlebihan justru berpotensi berubah menjadi stagnasi, di mana anggaran ada tetapi tidak bergerak, program direncanakan namun tak kunjung dieksekusi.
Jika dicermati dari struktur belanja, dominasi belanja pegawai yang telah terserap hingga sekitar Rp871 miliar menunjukkan bahwa belanja rutin nyaris tak menemui hambatan. Sebaliknya, belanja barang dan jasa yang berada di kisaran Rp685 miliar justru menjadi titik lemah. Padahal, belanja inilah yang paling bersentuhan langsung dengan pembangunan fisik, pengadaan layanan, serta perputaran ekonomi lokal.
Isu yang beredar mengenai sistem “buka-tutup” belanja di BKAD semakin mempertegas adanya problem tata kelola. Keluhan bukan hanya datang dari pihak ketiga, tetapi juga dari OPD sebagai pengguna anggaran. Ketika setiap rencana tender harus berhadapan dengan jawaban normatif seperti “kita lihat dulu pendapatannya”, muncul kesan bahwa perencanaan keuangan daerah tidak berjalan seiring dengan perencanaan program.
Pernyataan tersebut secara tidak langsung juga menyeret Bapenda ke dalam pusaran kritik. Di mata publik, muncul anggapan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) belum digarap secara maksimal. Padahal, jika dibandingkan, PAD Purwakarta sejatinya masih sebanding dengan kebutuhan belanja barang dan jasa. Artinya, masalah utamanya mungkin bukan semata pada ketersediaan dana, melainkan pada manajemen kas, keberanian mengambil keputusan, dan sinkronisasi antarorganisasi perangkat daerah.
Di titik inilah pertanyaan besar muncul: di mana letak kesalahan sehingga pembangunan Purwakarta terkesan lamban? Apakah BKAD belum mampu mengimbangi visi besar kepala daerah? Ataukah sistem birokrasi yang terlalu kaku justru mematikan daya gerak pembangunan?
Pemerintah daerah perlu segera melakukan evaluasi terbuka dan jujur. Reformasi prosedur pencairan anggaran, penguatan koordinasi antara BKAD, Bapenda, dan OPD, serta kepastian hukum bagi aparatur dalam menjalankan tugas menjadi hal mendesak. Tanpa itu, APBD hanya akan menjadi dokumen administratif, bukan instrumen perubahan.
Pada akhirnya, masyarakat tidak terlalu peduli pada istilah teknis seperti serapan anggaran atau manajemen kas. Yang mereka rasakan adalah jalan yang belum diperbaiki, layanan yang tertunda, dan pembangunan yang berjalan di tempat. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka rendahnya serapan APBD bukan lagi sekadar persoalan angka, melainkan kegagalan pemerintah daerah dalam menerjemahkan anggaran menjadi kesejahteraan.
Reporter : Red
Tags
Kabupaten Purwakarta

